Mahasiswa dan Pemilu Subtansial


Terhitung sejak keran reformasi bergulir lima belas tahun yang lalu, bangsa ini sudah tiga kali menggelar pemilu. Sudah berhasil memilih tiga presiden dan empat wakil presiden. Sudah mengamanahkan puluhan politisi di kementerian dan DPR dan puluhan praktisi hukum di mahkamah agung (MA) dan mahkamah konstitusi (MK). 

Namun dengan dinamisasi itu situasi negeri ini belum berubah. Kesejahteraan rakyat masih timpang. Keadilan masih jauh panggang dari api. Moralitas bapak dan anak negeri dekaden. Korupsi dan skandal moral lain hampir menjadi tradisi baru. Fenomena ini sebenarnya mengilustrasikan bahwa pemilu telah gagal. Instrument demokrasi yang dirancang untuk memilih pemimpin negarawan itu tidak bekerja seperti pertama kali digunakan pada tahun 1955.

Pemilu kini terjebak dalam tradisi politik rutinitas yang stagnan (baca: prosedural). Hanya mampu menghadirkan manusia yang arif mengikuti pranata simboliknya. Sehingga tanpa sadar telah meninggalkan visi pemilu itu sendiri. Yaitu menciptakan pemilu yang substansial. Pemilu yang tidak terjebak dalam pranata yang mengaturnya dan leluasa untuk memilih siapa saja yang mampu menjadi pemimpin tanpa tendensi apapun.


Menciptakan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana amanat Undang-undang Pemilu hanya wacana ideal yang masih jauh dari realita faktual. Sebab upaya menuju cita-cita itu belum disadari banyak pihak. Terutama calon pemimpin dari partai politik maupun independen.

Akibatnya, pemilu tersandera dalam permainan aktornya sendiri. Diracuni dan dikotori dengan transaksi materi sesaat. Disabotase dengan kecurangan penggelebungan suara. Dikhianati dengan fanatisme radikal, anarkisme, dan  vandalisme. Padahal satu tahun ke depan bangsa ini akan kembali menghadapi momentum tersebut. Lalu masih adakah harapan? Apakah tradisi tersebut tidak mungkin berubah?

Peran Mahasiswa
Mahasiswa sebagai aset kepemimpinan bangsa di masa depan menjadi tumpuan harapan rakyat. Sosoknya yang terus peduli dan berani membela nasib rakyat patut diapresiasi. Terutama kesediaannya dengan sadar untuk memprotes rencana penarikan subsidi BBM dan tarif dasar listrik (TDL) beberapa waktu yang lalu.

Maka representasi mahasiswa sebagai grup penekan (pressure group) menjadi sangat penting. Meskipun terkadang menjadi sasaran kritik rakyat karena mengotori demontrasinya dengan aksi vandalisme (pengrusakan) dan anarkisme. Apalagi di era reformasi saat ini rakyat sudah bisa demo sendiri.

Sayangnya peran mahasiswa di tengah kehidupan rakyat masih terbatas. Hanya mampu mengawal dan memperjuangkan kepentingan sosial ekonomi. Tanpa terjun untuk mewujudkan ide-ide perubahan itu.

Peran mahasiswa kurang menghujam masuk ke dalam sendi-sendi aspirasi politik rakyat. Yaitu memfokuskan perjuangannya pada proyek perbaikan pemahaman politik rakyat. Akibatnya rakyat masih saja nyaman dengan model transaksi politik dalam pemilu. Padahal fenomena ini merupakan salah satu akar dari krisis pemilu. 

Sebagai agen perubah (agent of change), mahasiswa seharusnya mudah peka dengan segala bentuk kontradiksi politik yang terjadi di akar rumput. Seperti transaksi politik uang yang semakin membudaya dalam pola pikir politik masyarakat, yang naifnya dianggap sebagai ekses positif dalam pemilu. Permainan bahasa –membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar-yang terlanjur ada dalam mindset rakyat harus segera dibenahi. Apalagi penyelenggara pemilu seperti KPU tidak selalu mampu menangani masalah itu. 

KPU terlalu berkosentrasi menjaga suara pemilih agar tidak terus turun dalam pemilu. Lihat saja presentasi pemilih yang tidak memilih atau golongan putih (golput), selalu meningkat sejak pemilu tahun 1971 dan cukup  menjadi pekerjaan berat bagi institusi ini.

Alangkah baiknya jika  mahasiswa kini membantu KPU menyelamatkan pemilu. Merubah pemilu yang tidak hanya tertib prosedural tetapi juga subtansial. Dengan langkah awal mewujudkan pemilu yang jujur dan adil (jurdil). Jangan sampai sengketa pemilu seperti pilkada di Palopo yang merugikan rakyat beberapa waktu lalu terulang kembali. 

Menurut penulis, ada empat upaya yang bisa dilakukan mahasiswa untuk mewujudkan pemilu yang substansial. Pertama, kesadaran politik harus muncul dalam diri mahasiswa untuk tidak golput. Bahwa mereka harus berpartisipasi  menggunakan suaranya dalam pemilu. Memilih calon pemimpin yang dipahami jejak rekamnya, kredibilitasnya dan program politiknya yang pro rakyat.  

Kedua, mahasiswa berhimpun untuk mengawal pemilu. Di dalam organisasi dan lembaga mahasiswa yang bergerak dalam bidang politik. Menyadarkan rakyat dengan program pendidikan politik yang massif mulai akar rumput. Terutama ke pemilih pemula di SMA/SMK sederajat dan kampus yang biasanya belum tercemar dengan kemapanan transaksi politik. 

Ketiga, memperbanyak aksi demonstrasi menolak pemimpin yang tidak pro rakyat. Apalagi yang terindikasi sebagai agen neoliberal yang kerap menyengsarakan hidup rakyat. Demonstrasi juga dimasifkan di media massa. Sehingga pesan-pesan positif itu mudah sampai dan diakses oleh masyarakat.

Keempat, mendatangi calon pemimpin yang potensial untuk mewujudkan perubahan. Calon pemimpin yang negarawan. Baik jejak rekamnya dan pro rakyat. Mahasiswa datang dengan menawarkan ide dan gagasan perbaikan. Menghasilkan kesepahaman terhadap solusi perbaikan bangsa. Tanpa maksud untuk mendukung apalagi menerima tawaran calon tersebut. Sebab mahasiswa harus menjaga independensinya dari kekuatan politik apapun.
Proyek penyadaran ini harus dimulai sedini mungkin. Tidak ada waktu lagi untuk menunggu. Mahasiswa sudah mampu membedakan calon pemimpin yang negarawan dan yang tidak. Sehingga tidak ada dalih lain untuk menunda proyek ini.

Zulfikhar
Aktivis KAMMI DIY
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UMY

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*