Menyoal Keberadaan Ujian Nasional
Kekronisan
kontroversi Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
sempurna sudah. Setelah gagal menampung aspirasi para guru menarik
kebijakan kontroversial kurikululumnya, kini lembaga pimpinan
Muhammad Nuh itu gagal menyelenggarakan ujian nasional (UN). Even
terbesar dan prestisius yang menentukan nasib masa depan pelajar
Indonesia.
Baru
terjadi dalam sejarah pendidikan Indonesia, jadwal UN dimundurkan.
Apalagi hanya disebabkan kendala teknis yang sebenarnya bisa
disiasati lebih awal. Akibatnya UN yang rencananya dimulai senin
kemarin mundur sampai rabu besok di 11 provinsi. Kemunduran tiba-tiba
ini menimbulkan ekses bagi satu juta pelajar yang harus kecewa dan
menanggung tekanan ujian lebih lama.
Ketidakdewasaan
Kemendikbud semakin terlihat jelas ketika dengan mudahnya melemparkan
sumber masalah itu kepada pihak percetakan. Sebagai pihak yang
dianggap paling bertanggungjawab sebab terlambat melakukan pengepakan
20 jenis soal. Padahal sebenarnya murni blunder kementerian yang
tidak teliti mengkomunikasikan tentang perubahan UN tahun ini.
Perlu
dicatat ketelodoran ini akan beresiko menimbulkan kebocoran soal.
Sebab 22 provinsi yang lain ujian sesuai jadwal seperti biasa.
Sehingga kunci jawaban dari provinsi yang sudah melaksanakan ujian
akan lebih mudah berpindah ke 11 provinsi yang belum ujian. Apalagi
provinsi yang letak geografisnya justru berdekatan, misalnya
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Musibah
ini secara langsung telah mencoreng wajah dunia pendidikan kita.
Terutama sejarah pelaksanaan UN. Tidak bisa dimaklumi ketelodoran
institusi setinggi Kemendikbud bisa sama seperti institusi sekolah.
Harga diri bangsa mau ditaruh dimana jika berita ini bahkan sudah
tersebar ke dunia internasional. Penulis kira dengan musibah ini bisa
dipastikan kualitas pendidikan kita kembali menurun pada level
internasional.
Urgensi
UN?
UN
hadir untuk mengukur sejauh mana kualitas pendidikan kita secara
nasional. Upaya verivikasi kolektif kemampuan masing-masing
provinsi/daerah dalam mendidik putra-putri terbaiknya. Padahal
sebenarnya kondisi faktual kualitas pendidikan kita belum tepat untuk
diukur secara nasional dengan level dan standar nasional.
Bagaimana
mungkin bisa diukur, sedangkan upaya untuk menghadirkan pendidikan
yang berkualitas masih tidak merata. Apakah tepat wilayah bagian
timur yang sarana prasarana dan tenaga pendidiknya lebih rendah dari
bagian barat bisa diemansipasikan dalam mekanisme ujian dengan level
yang sama. Apalagi dengan kompleksitas kesukaran soal yang bahkan
juga menyulitkan pelajar di Jawa.
Tidak
heran dalam setiap penyelenggaraan UN, hampir semua sekolah membentuk
tim sukses kelulusan siswanya. Menyebarkan kunci jawaban ke setiap
kelas dengan tanpa merasa bersalah. Padahal mereka tahu konsekuensi
dari manuver inkonstitusional tersebut. Lagipula tim pengawas
independen tidak akan diam melihat pelanggaran tersebut.
Fenomena
penyebaran kunci jawaban oleh pihak sekolah terang mengilustrasikan
bahwa sekolah tidak yakin dengan kemampuan siswanya. Mereka juga
dihantui oleh penurunan akreditasi sekolah jika banyak siswanya yang
gagal. Sehingga pihak sekolah harus mengambil jalur yang beresiko
tersebut.
Maka
tidak heran Kemendikbud tahun ini menambah tipe soal UN menjadi 20
jenis. Memasang kamera CCTV –seperti bisanya- dan menambah jumlah
personil tim pengawas independen. Hanya supaya penyelamatan pihak
sekolah tidak terjadi. Padahal Kemendikbud seharusnya sadar, upaya
preventif seperti itu hanya membuat sekolah semakin nekat menunaikan
misinya. Kemendikud seharusnya mencegah bukan memberantas
praktik-praktik tersebut. Mencegah dari akar bukan ekses dari
masalah.
Anggaran
UN Rp 500 miliar per tahun kalau mau dikaji lebih jauh sebenarnya
hanya terbuang percuma. Sebab tidak akan mendongkrak kecerdasan
pelajar secara kolektif. Bagaimana UN bisa mendidik, sedangkan para
guru sebagai representasi sekolah melakukan kecurangan. Tragisnya
dorongan siswa untuk belajar akibatnya menurun, sebab mereka tahu
kunci jawaban akan pasti datang, akhirnya mereka menjadi tergantung
dan perlahan malas belajar. Tidak heran ada siswa yang selalu
berprestasi tiba-tiba tidak lulus UN, sebaliknya yang miskin prestasi
malah lulus.
Seharusnya
keberadaan UN dievaluasi kembali oleh Kemendikbud. Keberadaannya saat
ini belum memberikan dampak positif yang signifikan. Apalagi urgensi
UN yang hanya sebatas mengukur kemampuan belajar siswa secara
nasional. Padahal sebenarnya tidak terlalu menjadi prioritas, sebab
sekolah mampu menanganinya. Masa depan siswa tidak berakhir di SMA,
mereka mempunyai masa depan masing-masing yang tidak semuanya bisa
diukur dengan parameter kongnitif (kecerdasan otak). Jangan lupa,
tidak semua orang berprestasi ditunjang oleh kognitif yang baik.
Penyelenggaraan
dan penilaian UN seharusnya didesentralisasikan ke otoritas
masing-masing daerah. Otomatis bukan dengan nama UN lagi, misalnya
dengan nama Ujian Daerah (UD) atau cukup diselenggarakan di tingkat
sekolah. Sehingga homogenitas kualitas pendidikan bisa perlahan naik.
Standar
penilaian juga mengikuti standar daerah/sekolah tersebut. Sehingga
bisa dipantau dan dievaluasi secara berkala bersama-sama dengan dinas
pendidikan. Sehingga sekolah yang belum memenuhi standar bisa
dibenahi bersama paguyuban sekolah dan dinas pendidikan setempat.
Ujian
semacam ini juga harus semakin disederhanakan dan dipersempit. Mata
pelajaran (mapel) yang diujiankan tidak perlu sebanyak yang sekarang.
Cukup diujiankan mapel wajib yang bermanfaat bagi masa depan siswa
sebagai manusia Indonesia seperti pelajaran sejarah –didalamnya
termuat pendidikan pancasila- dan agama. Selebihnya mata pelajaran
siswa sesuai konsentrasi ilmunya (IPA, IPS, atau IPB).
Penulis
kira dengan beberapa argumentasi diatas, setidaknya berkontribusi
memperbaiki mutu pendidikan kita. Sehingga kita tidak lagi menjadi
bangsa yang dikenal penuh segudang masalah. Terutama pendidikan yang
saat ini masih bermasalah. Bukan tidak mungkin dengan kemauan
(political
will)
pemerintah untuk mau membenahi diri dan cerdas menganalisis masalah,
dapat memajukan kualitas pendidikan kita sejajar dengan negara-negara
lain.
Komentar
Posting Komentar